Jumat, 05 April 2013

SIKAP INDAH TRIBHANGA


TRIBHANGA
PEMBENTUK SIKAP EROTIS FIGUR WANITA
OLEH
Drs. A.A. NGR. GEDE SURYA BUANA, M.Sn
NIP.: 195403071984121001

ABSTRAK

Tribhanga adalah suatu istilah yang mengandung arti tiga tekukan untuk sikap badan figur manusia, suatu istilah yang diambil dari uraian untuk sebuah pahatan pada pintu masuk stupa besar di Sanchi. Sikap badan tersebut juga dipahatkan pada candi-candi di Jawa, suatu pegangan para seniman dalam menggambarkan sikap figur pada zaman tersebut, dan pada dewasa ini sikap figur tersebut masih banyak memberikan inspirasi para seniman.
Figur wanita banyak memberikan inspirasi para seniman dalam berbagai cabang seni, karena ia mempunyai banyak sisi untuk diungkapkan, terutama dalam hal  jasmaninya yang merupakan wujud dari kecantikan dan keindahan, dan itu adalah salah satu tujuan seni.
Kata kunci: tribhanga, erotis, wanita




PENDAHULUAN
            Pemahaman terhadap suatu karya seni rupa secara tuntas, terutama muatan ide yang disampaikan oleh perupa melalui karyanya, hendaknya dilandasi dengan apresiasi terhadap unsur-unsur yang dikandung didalam satu karya seni, sebagaimana yang diuraikan dalam The Visual Experience: untuk dapat memahami bagaimana melihat suatu karya seni, kami dapat memberikan secara satu persatu, dalam sejumlah elemen visual untuk menyampaikan ide – idenya dalam bentuk visual.
Elemen – elemen yang yang disajikan untuk menegaskan keterangan – keterangannya terhadap ekspresinya:  ia harus mengenal sebelumnya, bahwa uraian elemen –elemen merupakan metoda analisa untuk mengetahui esensi dari keseluruhan. Garis, warna, atau terang dan gelap tidak eksis sebagai bagian yang terlepas satu dengan lainnya dalam karya seni. Bukan juga berdasarkan perlakuan artis dalam menyusun karyanya dalam satu rangkaian tahapan, sebagaimana langkah – langkahnya: membuat garis, kemudian ruang, warna. Elemen –elemen tersebut hanya eksis dalam konteks proses kreasinya.
(Bates Lowry, 1966: 110)
      Sekalipun elemen-elemen yang telah tertata menjadi satu kesatuan, seringkali tidak lagi dilihat sebagai tatanan dari berbagai elemen, tetapi sebagai suatu perwujudan objek dengan segala karakternya.
      Keindahan yang merupakan satu dari karakter dari suatu objek merjadi ungkapan yang sangat dekat dengan kecantikan, dan kecantikan adalah konotasi dari wanita. Ungkapan tersebut berawal dari pertanyaan “apakah estetik” digunakan untuk memperoleh respons yang sama dari “pengetahuan tentang kecantikan”. Sebagai konsekuensi pemahaman banyak orang barangkali masih dilakukan para pelaku estetik seperti halnya  seseorang menganggap kecantikan sebagai anggapan lain dari estetika atau bagaimana artis sendiri dapat menciptakan kecantikan.( Mukarovsky, 1977: 17 )
     Dalam sejarah perkembangan seni rupa, baik yang berkembang di negara-negara barat, maupun timur, wanita merupakan subjek yang digemari sebagian besar perupa untuk dijadikan objek, hal itu dapat diketahui dari karya – karya  dalam berbagai peradaban, baik peradaban yang bernuansa religius sampai pada peradaban profan.
                       
1. Representasi figur wanita
Dalam Buku What is Art dikatakan bahwa tujuan seni adalah kecantikan, karena kecantikan diberikan  oleh kesenangan yang dikandungnya, dan kesenangan artistic adalah baik dan sesuatu yang sangat penting. Istilah kesenangan adalah bagus sebab ia adalah menyenangkan. Dengan demikian apa yang dipertimbangkan pada definisi seni ini hanya suatu arahan untuk membenarkan keberadan seni.( Tolstoy, 1960: 45)
Mungkin dalam hal ini ungkapan kecantikan tidak semata cantik yang disandang wanita, tetapi kecantikan yang dikonotasikan dengan keindahan, namun demikian tanpa dapai dihindari bahwa wanita merupakan symbol dari kecantikan universal yang juga bermakna keindahan.
Di Indonesia   representasi   figure   wanita sudah dilakukan semenjak zaman
klasik,  namun  representasi  wanita tersebut sebatas sebagai illustrasi dari suatu
ajaran. Hal tersebut dapat diketahui dari berbagai peninggalan kuno pada bangunan candi, salah satunya adalah dapat dilihat pada pahatan di kaki candi Borobudur, dimana relief figur wanita dipahatkan sebagai suatu illustrasi dari ajaran karma wibangga, yaitu suatu ajaran tentang karma phala.
     Apabila di Indonesia   pada  zaman klasik, dogma agama sangat menentukan karya – karya seni, sebagaimana yang diuraikan diatas, namun tidak   demikian   halnya   dengan   peradaban Borjuis di Eropa. Dalam peradaban ini penguasa negara (raja) sangat mendominasi dalam segala norma – norma sosial, bahkan raja menjadi penentu dalam pergerakan seni.
      Mendominasinya raja dalam norma – norma sosial, yang juga menjadi penentu dalam pergerakan seni rupa, sehingga di bawah pimpinan Louis XIV Prancis menjadi negara yang sangat kuat, bahkan terkuat di Eropa. Dibawah pemerintahan Louis XIV tersebut, baik dalam hal militer maupun  kebudayaan, sampai akhir abad  XVII, Paris mampu menggantikan Roma sebagai World capital dalam hal visual arts dan posisi ini masih tetap dirasakan  sampai sekarang”..  (Janson,  1967: 434)
      Dalam pergerakan seni rupa, Louis XIV menekankan agar karya – karya seni yang diciptakan memberikan sugesti seni dengan gaya klasik pada jaman High Renaissance. Sehingga dengan demikian seni yang lahir ketika itu diberi label Baroque Classicism.
      Baroque Clasicism mempunyai karakter yang sangat menonjolkan keindahan sehingga karya – karya seni lukis yang diciptakan pada era tersebut  mempunyai kecendrungan  bersifat dekoratif.   Hal  itu  merupakan  suatu cerminan dari kerinduan akan keindahan yang idealis, dan bukan keindahan realistik.
      Era Industri dalam  kehidupan dewasa ini berpengaruh besar terhadap seni rupa, dimana bebasnya seni dari kungkungan  norma-norma atau dogma-dogma diluar “wilayah”  seni. Sehingga dengan demikian seni yang diciptakan pada zaman yang berperadaban industri, adalah karya seni yang sepenuhnya merupakan produk individualis.
Dalam zaman individualisme ini, perwujudan karya seni tidak saja bebas dari dogma-dogma social, tetapi juga bebas dari kaidah-kaidah seni dan keindahan, sehingga bukannya tidak mungkin penampilan karya bertentangan antara purwujudan yang diberi lebel cantik dengan kenyataan karya yang ditampilkan sebagai suatu ekspresi kecantikan, karena letak kecantikan, maupun subjek yang agung, bukan terletak pada cara merepresentasikan kecantikan maupun keagungannya, tetapi berdasarkan pada apa yang dikerjakan oleh artis atas subjek tersebut, dan hasil karya seni yang besar bukan disebabkan oleh subjek yang digambarkan melainkan datang dari artisnya. (Faricy, 1968: 53)

2. Sikap figur wanita
     Dalam   penampilan   keseharian,   pada   umumnya   sikap figur merupakan salah satu hal yang menimbulkan suatu penilaian terhadap   wanita,  baik  sikap  duduk, sikap   bediri, sikap  berjalan, jongkok. Sikap-sikap tersebut,  dalam   estetika  maupun  etikanya  sangat  ditentukan oleh sikap badan dan anggota badannya.
Suatu  pegangan dalam  penggambaran sikap yang indah untuk figur  wanita bagi para seniman pada zaman klasik di India adalah sikap tribhanga (literally ‘three bends”), yaitu sikap figur dengan tiga tekukan, sebagaimana sebuah pahatan Yaksi, yaitu sebuah simbol spirit alam, yang dipahatkan pada pintu masuk menuju sebuah setupa besar di Sanci, dipahatkan dengan teknik tiga dimensional dan sangat realistik. Simbol tersebut adalah figur wanita yang bergayut dengan tangan berpegangan pada pohon beringin, sikap lenggang pinggul dengan tekukan badan sangat gemulai, menimbulkan kesan bahwa figur
tersebut tanpa susunan tulang.( Hough Honour, 1986: 184)
       Pahatan  figur  pada  pintu  menuju  stupa  di Sanci tersebut, terkenal karena
sangat  sensual, dengan kalung yang berjuntai pada payudaranya yang besar dan menggairahkan, gelang melingkari kedua tangan dan kedua kakinya.
Pose yang serupa dengan sikap pahatan Yaksi tersebut  tersebut  juga  dipahatkan  pada candi Borobudur maupun candi Lara Jonggrang maupun candi Plaosan di Jawa Tengah. Penggambaran figur – figur pada dinding candi tersebut, dipahatkaan secara realistik, dengan unsur dekoratifnya yang sangat tinggi karena keindahannya, baik dilihat dari sikap, maupun kostum yang dipakai oleh figur – figurnya.
Upaya   untuk   menampilkan   kecantikan   dengan  penggambaran  figur   wanita   selalu   dilakukan  oleh  para  seniman   yang mengagumi kecantikan wanita, sekalipun kecantikan maupun keindahan merupakan  hal  yang   sangat   subjektif.


   
Yaksi “natur spirit” yang dipahatkan pada pintu masuk menuju stupa besar di Sanchi.


 Wanita mempunyai banyak sisi yang selalu menjadi bahan pembahasan bagi kaum lelaki, baik yang dibicarakan dari segi positifnya maupun  dari segi negatifnya.
      Dalam sejarah tercatat juga bahwa ada kekhawatiran bagi kaum lelaki terhadap potensi yang dimiliki oleh kaum wanita, hal tersebut dapat kita lihat bahwa 3 abad sebelum masehi, wanita Romawi menduduki Capitoline Hill dan menutup semua pintu masuk yang menuju Forum dimana jendral Marcus Parcius Cato mencoba untuk menentang pencabutan hukum yang membatasi wanita untuk mengenakan barang mahal. Dalam forum tersebut Cato berteriak secara lantang “ jika mereka sekarang menjadi pemenang, apa yang mereka   tidak   akan   coba?,   secepatnya    mereka    memulai untuk  menyamaimu, maka segera mereka akan menjadi atasanmu” (Britannica Encyclopedia, 2006: feminism)
      Kekaguman terhadap wanita yang seringkali dikonotasikan dengan kecantikan universal, bahkan dijadikan suatu simbol dari suatu “kekuatan”, sebgaimana halnya Durga sebagai ibu dunia yang mempunyai karakter keras hati dan kekuatan yang tak dapat disamakan, ia memanifestasikan dukungannya apabila dipersembahkan dengan penyerahan diri secara total.  Durga yang merupakan highest goddesss adalah inkarnasi tuhan untuk kekuatan wanita, dan juga inkarnasi dari feminine charm, hal tersebut  merupakan aspek yang memikat dan meluluhkan. (Zimmer, 1955: 91)
      Kedua illustrasi diatas menunjukkan bahwa betapa besar sebenarnya potensi wanita, baik dalam hal yaitu disatu sisi menunjukkan kekhawatiran terhadap potensi yang mengkhawatirkan kaum lelaki maupun potensi yang mengagumkan yang dimiliki kaum wanita.


Dhurga dengan 8 tangannya, merupakan symbol dari highest goddess

      Dalam   kesehariannya   wanita   juga   sangat  mempertimbangkan penampilannya, terutama penampilan yang berkaitan dengan sikap badannya, karena sikap badan dapat membangun image terhadap diri seseorang.
 Pertimbangan penampilan khususnya dalam hal sikap tubuh, baik yang berkaitan dengan norma – norma  etika yang menyangkut tata susila yang telah menjadi kesepakatan pada masyarakat,  maupun yang berkaitan dengan  estetika, yaitu pertimbangan yang semata – mata berdasarkan keindahan.












TRIBHANGA PEMBENTUK SIKAP EROTIS
FIGUR WANITA

Bagi kaum wanita, sikap badan merupakan pertimbangan yang penting dalam penampilan kesehariannya, karena kwalitas penampilan seseorang sangat ditentukan oleh sikap badannya.
Dalam seni rupa peggambaran figur menjadi pilihan yang sudah dilakukan dari zaman purba sampai modern, bahkan jauh sebelum peradaban manusia mengenal huruf, manusia paling banyak dijadikan objek ungkapan seni manusia.  Barkaitan dengan hal tersebut dalam buku Creative Drawing dikemukakan bahwa  figur manusia paling banyak dijadikan objek ungkapan ekspresi seni, karena tidak ada subjek lain khususnya dalam drawing yang dibuat secara terus menerus sebagaimana penggambaran figur manusia. Yang menjadi pertimbangan pokok dalam hal itu adalah oleh karena pada kenyataannya manusia memiliki suatu pesona yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Hal itu dapat diketahui bahwa penggambaran manusia sudah ada sejak peradaban masih sederhana, yaitu sejak  masih menggambar diatas daun papyrus di Mesir sampai peradaban kontemporer. ( Smagula, 2002: 232 )
         Ungkapan tersebut memang tidak dapat diingkari, bahwa penggambaran figur manusia telah dilakukan oleh para perupa, dan dalam menggambarkan figur, selalu diupayakan ditampilkan dengan sikap yang indah. Keindahan sikap tersebut  pada dasarnya adalah sikap Tribhanga.    Tiga tekukan tubuh dimaksud adalah sikap yang ditentukan oleh sikap kaki, sikap badan dengan arah pinggul dan bahu, dan sikap kepala.
         Penggambaran sikap yang indah, yang dibentuk oleh tiga tekukan  sebagaimana uraian diatas, dapat dilihat dari beberapa karya seni, baik karya seni rupa yang dibuat pada zaman purba dengan muatan yang penuh dengan nuansa magis, maupun karya - karya zaman klasik yang penuh dengan muatan – muatan ajaran dan dogma-dogma relegi dan norma- norma sosial, suatu karya seni yang diciptakan pada zaman klasik adalah karya  seni yang dibuat berdasarkan patron, sampai karya seni rupa yang dibuat pada era modern dengan nuansa industri,  yang ditandai dengan kebebsan ekspresi dan  individualism, sehingga lahir karya – karya seni yang sangat bervariasi, muncul gaya yang berbeda pada tiap mazhab.


 

Sebuah karya tahun 241yang menggambarkan figur, dibuat  pada lempengan gading
Koleksi, Kabul Museum, Afganistan.




 

Sebuah karya klasik Bali menggambarkan figur dengan sikap tribhanga.
 Perhatian sikap figur wanita






 
Perhatikan karya klasik Relief pada dinding candi Borobudur,
menggambarkan figur dengan sikap tribhanga.



 


Erotisme karya Bartholomaus Spranger, pose  tribhanga figur Maia,Vulcan and Maia, c. 1590, (23x18 Cm).
Kunsthistorisches Museum, Viena




 

Sikap Tribhanga Zaman Barroque. Karya Sir Peter Paul Rubens,”The Judgment of Paris,1632,London,N.G.



 

Sikap Tribhanga, karya Sandro Botticelli,”The Birth of Venus”,c.1482, Tempera on canvas, Aprox.,5`8 x 9`1.
Galleria degli Uffi, Florence.




 
Sikap tri bhanga, pada figur lukisan kubistis
Pablo Picasso,Tree Women, 1908-9. kanvas, 783/4 x 701/2 ins (200 x 179 cm).
 Hermitage, Leningrad. The Visual Arts a History, Second Edition, p.601




 







 



          Venus de Milo, c. 150 SM.                                                            Antonico, Venus Felix, 1500
        Marmer, tinggi 82 inc (208 cm) .                                                Th. 1500, Perunggu, parcel-gilt dan pe-
 Louvre, Paris, The Visual Arts a History                                              rak (32 cm), Kunsthistorisches Museum
p. 141                                                                                                   The Visual Arts a History,p. 347




Sikap tri bhanga pada patung modern
Alexander Archipenko,Woman Combing Her Hair,1915 perunggu, tinggi. 133/4 ,
Museum Modern Art, New York (bequest of Lillie P. Bliss)
Art through the Ages, Seventh edition, p. 840
Beberapa karya diatas merupakan illustrasi betapa sebenarnya sikap tribhanga merupakan salah satu pertimbangan dalam menampilkan keindahan wanita, oleh perupa diberbagai zaman, dari zaman dengan nuansa magis, juga zaman yang sarat dengan dogma-dogma relegi, sampai zaman dengan kebebasan individual, bahkan bebas dari norma-norma estetik maupun norma social. Karya –karya dengan nuansa zaman tersebut, baik karya yang diciptakan dengan wujud dua dimensional (lukisan) maupun karya dalam penampilan tiga dimensional (patung).
Sikap badan bagi wanita merupakan pertimbangan dalam kesehariannya, karena sikap badan dapat menimbulkan kesan tertentu pada seorang wanita.
        Untuk memperjelas tentang sikap indah wanita yang dibentuk oleh tiga tekukan tubuh tersebut, direpresentasikan dengan uraian posisi kaki, posisi arah pinggul dan perut, arah bahu dan dada, dan arah pandang wajah. Dalam merepresentasikan figur tarsebut diuraikan kedalam 6 prinsip dalam sikap figur , yaitu: 
a). Sikap berdiri dengan kaki kanan menopang badan, sedangkan kaki kiri berjinjit, begitu juga sikap kedua telapak kaki dengan posisi membetuk huruf T. Kedua sikap kaki tersebut mengakibatkan pinggul menonjol kekanan, atau pinggul menonjol kekiri apabila posisi kaki kanan yang berjinjit.


b). Dalam keadaan posisi berdiri ataupun dalam posisi duduk, posisi badan dengan pose  miring mulai dari pinggul sampai bahu, kemiringan badan seolah membentuk sudut apabila ditarik garis antara posisi pinggul,  yang dipertemukan dengan garis dengan posisi kemiringan bahu. Dalam kemiringan posisi badan seperti tersebut, posisi kepala dengan arah wajah berlawanan dengan posisi kemiringan badan.


 
c).    Sikap figur dalam keadaan berdiri, dengan posisi pinggul mengarah kedepan, sedangkan posisi dada mengarah kesamping. Posisi pinggul dan posisi dada tersebut  dapat mengarah  kekiri maupun mengarah kekanan, sedangkan badan agak terdorong kebelakang, dengan sikap telapak kaki membentuk huruf T, sehingga dalam posisi badan dan kaki demikian, sikap badan menimbulkan kesan menjadi lebih dinamis, bila  wajah mengarah searah dengan posisi dada, namun agak menengadah.


d).   Posisi duduk kaki bersimpuh, posisi badan membengkok sesuai dengan arah simpuh kaki (kaki kanan diatas kaki kiri maka badan membengkok kekanan, demikian juga apabila sebaliknya ). Bersimpuh merupakan salah satu ciri sikap duduk wanita yang mengandung makna etika.
e).   Posisi berjongkok, lutut kanan menyentuh lantai, lutut kiri  kedepan, badan membengkok kekiri, bahu mengarah kekiri, wajah menghadap kekanan, menunduk, lurus, atau menengadah, dan sebaliknya apabila lutut kiri yang menyentuh lantai.


f).  Posisi rebah (tidur), arah kemiringan posisi pinggul bertentangan dengan kemiringan posisi bahu dan kepala.






KESIMPULAN

            Berdasarkan uraian diatas bahwa dalam beberapa eksperimen yang penulis lakukan untuk menemukan keindahan yang sebenarnya dari sikap tribhanga, maka sikap tribhanga pada hakikatnya ditentukan oleh 3 hal, yaitu:
1.    Posisi telapak kaki menjadi penentu dari posisi lutut, posisi lutut menentukan posisi pinggul
2.    Posisi pinggul dan bahu mengarah pada satu sudut
3.    Posisi wajah bertentangan arah dengan sudut pertemuan pinggul dengan bahu.

























Kepustakaan

Arnheim, Rudoff, 1972, Toward a Psychology of Art,Collected eassays, University of California Press, Berkeley and Los Angeles.

Badil, Rudi / Nuradi Rangkuti, 1989, Rahasia di Kaki Borobudur,Katalis Jakarta, PT Midas Surya Grafindo, Jakarta.

Canaday, John, 1962, Mainstreams of Modern Art, Simon and Schuster, New York, United States of America, trade edition distributed by Simon and Schuster Inc.

Craven, Roy C., Indian Art, 1986, A Concise History, Thames and Hudson Inc. 500 fifth Avebue, New York, New York 10110.

Daks, Acaryan Paramananda Muni 2007, Ibu Durga,Ibu Kekuatan & Keajaiban,Paramita Surabaya.

Dillistone, F.W., 2002, The Power of Symbols, Daya Kekuatan Simbol, Penerbit Kanisius Yogyakrata.

Feldman, Edmund Burke, 1967, Art As Image And Idea, Prentice – Hall, INC., Englewood Cliffs, New Jesrey.

Gardner`s, 1976, Art through the Ages, Seventh edition, Harcourt Brace Jovanovish Publishers, San Diego New York Chocago Atlanta Washington, D.C. London Sydney Toronto.

Gault, Berys and Dominic Mclever Lopes, 2002, The Routledge Companion to Aesthetics, Routledge Taylor & Francis Group,
New York. 

Goldwater, Robert, 1979, Symbolism, Icon Editions, Harper & Row, Publishers, Inc., 10 East 53rd Street, New York, N.Y. 10022.

Honour,  Hough & John Fleming, 1986, The Visual Arts a History, Second Edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Hospers, John, 1982, Understanding the Arts, Prentice-Hall, Inc.,Englewood Cliffs, New Jersey 07632.

Howard, Smagula J., 2002, Creative Drawing, Laurence King Publishing Ltd.

Jakob,  Suamarjo, 2000, Filsafat Seni, ITB, Bandung.

Kuhns, Albert Hofstadter and Richard, 1976, Philosophies of Art & Beauty,
Selected Reading in Aesthetics from Plato to Heigedger,The University of Chicago Press.

Loomis, Andrew, 1952, Figure Drawing , for all its worth, The Viking Press, New York.

Lowry,  Bates, 1966, The Visual Experience, An Introduction to Art, Harry N. Abrams, Incorporated, New York, N. Y.

Micheal, Sullivan, 1985, The Book Of Art, Chinese and Japanese art, Nuovo Istituto Italiano d’ Arti Grafiche – Bergamo.

Munro, Thomas, 1967, The Art and Their Interrelations, the Press of Case Western Reserve University Cleveland and London.
Murkarovsky,  Jan, 1977, translated and adited by John Burbank and Peter  Steiner,Structure, Sign, and Function, New Haven and London Yale Universit Press.

Osborne, Harold, 1970, Aesthetics and Art Theory, An Historical Introduction, E. P. Dutton & Co., Inc. New York.

Peter, Fuller, 1983, Art and Psychoanalysis, Writers and Readers Publishing Cooperative Ltd., 144  Camden High Street, London, NWI ONE.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006, Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Jalasutra, Anggota IKAPI, Jl. Mangkunegaran Kidul No.25, Yogyakarta 55131.

________, 2006, Kajian Budaya  Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Jalasutra, Anggota IKAPI, Jl. Mangkunegaran Kidul No.25.

Putnam, Tong Roesmarie, 2006, Feminist Thought, Jalasutra, Anggota IKAPI, Jl. Mangkunegaran Kidul No.25,.

Read, Herbert, 1972, The Meaning of Art, A true taste is never a half taste, Praeger Publishers, New York-Washington.

Soedarsono RM., 2001, Metodologi Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Semarang.

Sudi, Padma, 1983, Aeathetic Theories of India, Bandharkar Oriental Research Institute.

Zimmer, Heinrich, 1955, The Art of Indian Asia, Bollingen Series XXXIX, Pantheon Books, Manufactured in U. S. A. by Kingsport Press, Inc., Kingsport, Tennessee

The Encyclopedia Americana, Vol. 7, 1976.,  International Edition,  Americana Corporation, International Headquarters: 575 Lexington Avenue, New York, New York 10022.
 Encyclopedia Britannica, (2006),  feminism, Ultimate Reference Suite.  Chicago: Encyclopædia Britannica.