TRIBHANGA
PEMBENTUK SIKAP EROTIS FIGUR WANITA
OLEH
Drs. A.A. NGR. GEDE SURYA BUANA, M.Sn
NIP.: 195403071984121001
ABSTRAK
Tribhanga adalah suatu istilah yang mengandung
arti tiga tekukan untuk sikap badan figur manusia, suatu istilah yang diambil
dari uraian untuk sebuah pahatan pada pintu masuk stupa besar di Sanchi. Sikap
badan tersebut juga dipahatkan pada candi-candi di Jawa, suatu pegangan para
seniman dalam menggambarkan sikap figur pada zaman tersebut, dan pada dewasa
ini sikap figur tersebut masih banyak memberikan inspirasi para seniman.
Figur wanita banyak
memberikan inspirasi para seniman dalam berbagai cabang seni, karena ia
mempunyai banyak sisi untuk diungkapkan, terutama dalam hal jasmaninya yang merupakan wujud dari
kecantikan dan keindahan, dan itu adalah salah satu tujuan seni.
Kata kunci: tribhanga, erotis, wanita
PENDAHULUAN
Pemahaman terhadap suatu karya seni rupa secara tuntas,
terutama muatan ide yang disampaikan oleh perupa melalui karyanya, hendaknya
dilandasi dengan apresiasi terhadap unsur-unsur yang dikandung didalam satu
karya seni, sebagaimana yang diuraikan dalam The Visual Experience: untuk dapat memahami
bagaimana melihat suatu karya seni, kami dapat memberikan secara satu persatu,
dalam sejumlah elemen visual untuk menyampaikan ide – idenya dalam bentuk
visual.
Elemen – elemen yang yang
disajikan untuk menegaskan keterangan – keterangannya terhadap
ekspresinya: ia harus mengenal
sebelumnya, bahwa uraian elemen –elemen merupakan metoda analisa untuk
mengetahui esensi dari keseluruhan. Garis, warna, atau terang dan gelap tidak
eksis sebagai bagian yang terlepas satu dengan lainnya dalam karya seni. Bukan
juga berdasarkan perlakuan artis dalam menyusun karyanya dalam satu rangkaian
tahapan, sebagaimana langkah – langkahnya: membuat garis, kemudian ruang,
warna. Elemen –elemen tersebut hanya eksis dalam konteks proses kreasinya.
(Bates Lowry, 1966: 110)
Sekalipun elemen-elemen yang telah tertata menjadi satu
kesatuan, seringkali tidak lagi dilihat sebagai tatanan dari berbagai elemen,
tetapi sebagai suatu perwujudan objek dengan segala karakternya.
Keindahan
yang merupakan satu dari karakter dari suatu objek merjadi ungkapan yang sangat
dekat dengan kecantikan, dan kecantikan adalah konotasi dari wanita. Ungkapan
tersebut berawal dari pertanyaan “apakah estetik” digunakan untuk memperoleh
respons yang sama dari “pengetahuan tentang kecantikan”. Sebagai konsekuensi
pemahaman banyak orang barangkali masih dilakukan para pelaku estetik seperti
halnya seseorang menganggap kecantikan
sebagai anggapan lain dari estetika atau bagaimana artis sendiri dapat
menciptakan kecantikan.( Mukarovsky,
1977: 17 )
Dalam sejarah perkembangan seni rupa, baik yang berkembang di
negara-negara barat, maupun timur, wanita merupakan subjek yang digemari
sebagian besar perupa untuk dijadikan objek, hal itu dapat diketahui dari karya
– karya dalam berbagai peradaban, baik
peradaban yang bernuansa religius sampai pada peradaban profan.
1. Representasi figur wanita
Dalam Buku What is Art dikatakan bahwa tujuan seni
adalah kecantikan, karena kecantikan diberikan
oleh kesenangan yang dikandungnya, dan kesenangan artistic adalah baik
dan sesuatu yang sangat penting. Istilah kesenangan adalah bagus sebab ia adalah
menyenangkan. Dengan demikian apa yang dipertimbangkan pada definisi seni ini
hanya suatu arahan untuk membenarkan keberadan seni.( Tolstoy, 1960: 45)
Mungkin dalam hal ini
ungkapan kecantikan tidak semata cantik yang disandang wanita, tetapi
kecantikan yang dikonotasikan dengan keindahan, namun demikian tanpa dapai
dihindari bahwa wanita merupakan symbol dari kecantikan universal yang juga
bermakna keindahan.
Di Indonesia representasi figure
wanita sudah dilakukan semenjak zaman
klasik, namun
representasi wanita tersebut
sebatas sebagai illustrasi dari suatu
ajaran. Hal tersebut dapat diketahui
dari berbagai peninggalan kuno pada bangunan candi, salah satunya adalah dapat
dilihat pada pahatan di kaki candi Borobudur, dimana relief figur wanita
dipahatkan sebagai suatu illustrasi dari ajaran karma wibangga, yaitu suatu
ajaran tentang karma phala.
Apabila di Indonesia pada zaman klasik, dogma agama sangat menentukan
karya – karya seni, sebagaimana yang diuraikan diatas, namun tidak demikian
halnya dengan peradaban Borjuis di Eropa. Dalam peradaban
ini penguasa negara (raja) sangat mendominasi dalam segala norma – norma
sosial, bahkan raja menjadi penentu dalam pergerakan seni.
Mendominasinya raja dalam norma – norma sosial, yang juga menjadi
penentu dalam pergerakan seni rupa, sehingga di bawah pimpinan Louis XIV
Prancis menjadi negara yang sangat kuat, bahkan terkuat di Eropa. Dibawah
pemerintahan Louis XIV tersebut, baik dalam hal militer maupun kebudayaan, sampai akhir abad XVII, Paris mampu menggantikan Roma sebagai World capital dalam hal visual arts dan posisi ini masih tetap
dirasakan sampai sekarang”.. (Janson,
1967: 434)
Dalam pergerakan seni rupa, Louis XIV menekankan agar karya – karya seni
yang diciptakan memberikan sugesti seni dengan gaya klasik pada jaman High Renaissance. Sehingga dengan
demikian seni yang lahir ketika itu diberi label Baroque Classicism.
Baroque Clasicism mempunyai
karakter yang sangat menonjolkan keindahan sehingga karya – karya seni lukis
yang diciptakan pada era tersebut
mempunyai kecendrungan bersifat
dekoratif. Hal itu
merupakan suatu cerminan dari
kerinduan akan keindahan yang idealis, dan bukan keindahan realistik.
Era Industri dalam kehidupan
dewasa ini berpengaruh besar terhadap seni rupa, dimana bebasnya seni dari
kungkungan norma-norma atau dogma-dogma
diluar “wilayah” seni. Sehingga dengan
demikian seni yang diciptakan pada zaman yang berperadaban industri, adalah
karya seni yang sepenuhnya merupakan produk individualis.
Dalam zaman individualisme
ini, perwujudan karya seni tidak saja bebas dari dogma-dogma social, tetapi
juga bebas dari kaidah-kaidah seni dan keindahan, sehingga bukannya tidak
mungkin penampilan karya bertentangan antara purwujudan yang diberi lebel
cantik dengan kenyataan karya yang ditampilkan sebagai suatu ekspresi
kecantikan, karena letak kecantikan, maupun subjek yang agung, bukan terletak
pada cara merepresentasikan kecantikan maupun keagungannya, tetapi berdasarkan
pada apa yang dikerjakan oleh artis atas subjek tersebut, dan hasil karya seni
yang besar bukan disebabkan oleh subjek yang digambarkan melainkan datang dari
artisnya. (Faricy, 1968: 53)
2. Sikap figur wanita
Dalam penampilan keseharian,
pada umumnya sikap figur merupakan salah satu hal yang
menimbulkan suatu penilaian terhadap
wanita, baik sikap
duduk, sikap bediri, sikap berjalan, jongkok. Sikap-sikap tersebut, dalam
estetika maupun etikanya
sangat ditentukan oleh sikap
badan dan anggota badannya.
Suatu pegangan dalam penggambaran sikap yang indah untuk figur wanita bagi para seniman pada zaman klasik di
India adalah sikap tribhanga (literally
‘three bends”), yaitu sikap figur dengan tiga tekukan, sebagaimana sebuah pahatan Yaksi,
yaitu sebuah simbol spirit alam, yang dipahatkan pada pintu masuk menuju sebuah
setupa besar di Sanci, dipahatkan dengan teknik tiga dimensional dan sangat
realistik. Simbol tersebut adalah figur wanita yang bergayut dengan tangan
berpegangan pada pohon beringin, sikap lenggang pinggul dengan tekukan badan
sangat gemulai, menimbulkan kesan bahwa figur
tersebut tanpa susunan tulang.( Hough
Honour, 1986: 184)
Pahatan figur pada
pintu menuju stupa
di Sanci tersebut, terkenal karena
sangat
sensual, dengan kalung yang berjuntai pada payudaranya yang besar dan
menggairahkan, gelang melingkari kedua tangan dan kedua kakinya.
Pose yang serupa dengan sikap pahatan Yaksi tersebut tersebut
juga dipahatkan pada candi Borobudur maupun candi Lara
Jonggrang maupun candi Plaosan di Jawa Tengah. Penggambaran figur – figur pada
dinding candi tersebut, dipahatkaan secara realistik, dengan unsur dekoratifnya
yang sangat tinggi karena keindahannya, baik dilihat dari sikap, maupun kostum
yang dipakai oleh figur – figurnya.
Upaya
untuk menampilkan kecantikan
dengan penggambaran figur
wanita selalu dilakukan
oleh para seniman
yang mengagumi kecantikan wanita, sekalipun kecantikan maupun keindahan
merupakan hal yang
sangat subjektif.
Yaksi “natur spirit” yang dipahatkan pada pintu masuk menuju stupa besar di
Sanchi.
Wanita mempunyai banyak sisi yang selalu
menjadi bahan pembahasan bagi kaum lelaki, baik yang dibicarakan dari segi
positifnya maupun dari segi negatifnya.
Dalam sejarah tercatat juga bahwa ada kekhawatiran bagi kaum lelaki
terhadap potensi yang dimiliki oleh kaum wanita, hal tersebut dapat kita lihat
bahwa 3 abad sebelum masehi, wanita Romawi menduduki Capitoline Hill dan
menutup semua pintu masuk yang menuju Forum dimana jendral Marcus Parcius Cato
mencoba untuk menentang pencabutan hukum yang membatasi wanita untuk mengenakan
barang mahal. Dalam forum tersebut Cato berteriak secara lantang “ jika mereka
sekarang menjadi pemenang, apa yang mereka
tidak akan coba?,
secepatnya mereka
memulai untuk menyamaimu, maka
segera mereka akan menjadi atasanmu” (Britannica Encyclopedia, 2006: feminism)
Kekaguman terhadap wanita yang seringkali dikonotasikan dengan
kecantikan universal, bahkan dijadikan suatu simbol dari suatu “kekuatan”,
sebgaimana halnya Durga sebagai ibu dunia yang mempunyai karakter keras hati
dan kekuatan yang tak dapat disamakan, ia memanifestasikan dukungannya apabila
dipersembahkan dengan penyerahan diri secara total. Durga yang merupakan highest goddesss adalah inkarnasi tuhan untuk kekuatan wanita, dan
juga inkarnasi dari feminine charm,
hal tersebut merupakan aspek yang
memikat dan meluluhkan. (Zimmer, 1955: 91)
Kedua illustrasi diatas menunjukkan bahwa
betapa besar sebenarnya potensi wanita, baik dalam hal yaitu disatu sisi
menunjukkan kekhawatiran terhadap potensi yang mengkhawatirkan kaum lelaki
maupun potensi yang mengagumkan yang dimiliki kaum wanita.
Dhurga dengan 8
tangannya, merupakan symbol dari highest
goddess
Dalam kesehariannya wanita
juga sangat mempertimbangkan penampilannya, terutama
penampilan yang berkaitan dengan sikap badannya, karena sikap badan dapat
membangun image terhadap diri seseorang.
Pertimbangan penampilan khususnya dalam hal
sikap tubuh, baik yang berkaitan dengan norma – norma etika yang menyangkut tata susila yang telah
menjadi kesepakatan pada masyarakat,
maupun yang berkaitan dengan
estetika, yaitu pertimbangan yang semata – mata berdasarkan keindahan.
TRIBHANGA
PEMBENTUK SIKAP EROTIS
FIGUR
WANITA
Bagi kaum wanita, sikap
badan merupakan pertimbangan yang penting dalam penampilan kesehariannya,
karena kwalitas penampilan seseorang sangat ditentukan oleh sikap badannya.
Dalam seni rupa
peggambaran figur menjadi pilihan yang sudah dilakukan dari zaman purba sampai
modern, bahkan jauh sebelum peradaban manusia mengenal huruf, manusia paling
banyak dijadikan objek ungkapan seni manusia.
Barkaitan dengan hal tersebut dalam buku Creative Drawing dikemukakan bahwa
figur manusia paling banyak dijadikan objek ungkapan ekspresi seni,
karena tidak ada subjek lain khususnya dalam drawing yang dibuat secara terus
menerus sebagaimana penggambaran figur manusia. Yang menjadi pertimbangan pokok
dalam hal itu adalah oleh karena pada kenyataannya manusia memiliki suatu
pesona yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Hal itu dapat diketahui bahwa
penggambaran manusia sudah ada sejak peradaban masih sederhana, yaitu
sejak masih menggambar diatas daun papyrus
di Mesir sampai peradaban kontemporer. ( Smagula, 2002: 232 )
Ungkapan
tersebut memang tidak dapat diingkari, bahwa penggambaran figur manusia telah
dilakukan oleh para perupa, dan dalam menggambarkan figur, selalu diupayakan
ditampilkan dengan sikap yang indah. Keindahan sikap tersebut pada dasarnya adalah sikap Tribhanga. Tiga tekukan tubuh dimaksud adalah sikap
yang ditentukan oleh sikap kaki, sikap badan dengan arah pinggul dan bahu, dan
sikap kepala.
Penggambaran
sikap yang indah, yang dibentuk oleh tiga tekukan sebagaimana uraian diatas, dapat dilihat dari
beberapa karya seni, baik karya seni rupa yang dibuat pada zaman purba dengan
muatan yang penuh dengan nuansa magis, maupun karya - karya zaman klasik yang
penuh dengan muatan – muatan ajaran dan dogma-dogma relegi dan norma- norma
sosial, suatu karya seni yang diciptakan pada zaman klasik adalah karya seni yang dibuat berdasarkan patron, sampai
karya seni rupa yang dibuat pada era modern dengan nuansa industri, yang ditandai dengan kebebsan ekspresi
dan individualism, sehingga lahir karya
– karya seni yang sangat bervariasi, muncul gaya yang berbeda pada tiap mazhab.
Sebuah karya tahun
241yang menggambarkan figur, dibuat pada
lempengan gading
Koleksi, Kabul
Museum, Afganistan.
Sebuah karya klasik
Bali menggambarkan figur dengan sikap tribhanga.
Perhatian sikap figur wanita
Perhatikan karya
klasik Relief pada dinding candi Borobudur,
menggambarkan figur
dengan sikap tribhanga.
Erotisme karya Bartholomaus Spranger, pose tribhanga figur Maia,Vulcan and Maia, c. 1590, (23x18 Cm).
Kunsthistorisches
Museum, Viena
Sikap
Tribhanga Zaman Barroque. Karya Sir
Peter Paul Rubens,”The Judgment of Paris,1632,London,N.G.
Sikap
Tribhanga, karya Sandro Botticelli,”The
Birth of Venus”,c.1482, Tempera on canvas, Aprox.,5`8 x 9`1.
Galleria
degli Uffi, Florence.
Sikap tri bhanga, pada figur lukisan kubistis
Pablo
Picasso,Tree Women, 1908-9. kanvas, 783/4
x 701/2 ins (200 x 179 cm).
Hermitage, Leningrad. The Visual Arts a History, Second Edition, p.601
Venus
de Milo,
c. 150 SM. Antonico, Venus
Felix, 1500
Marmer, tinggi 82 inc (208 cm) . Th. 1500,
Perunggu, parcel-gilt dan pe-
Louvre, Paris, The Visual Arts a History rak (32 cm),
Kunsthistorisches Museum
p. 141
The Visual Arts a History,p. 347
Sikap
tri bhanga pada patung modern
Alexander
Archipenko,Woman Combing Her Hair,1915 perunggu,
tinggi. 133/4 ,
Museum Modern Art,
New York (bequest of Lillie P. Bliss)
Art
through the Ages, Seventh edition, p. 840
Beberapa karya diatas
merupakan illustrasi betapa sebenarnya sikap tribhanga merupakan salah satu
pertimbangan dalam menampilkan keindahan wanita, oleh perupa diberbagai zaman,
dari zaman dengan nuansa magis, juga zaman yang sarat dengan dogma-dogma
relegi, sampai zaman dengan kebebasan individual, bahkan bebas dari norma-norma
estetik maupun norma social. Karya –karya dengan nuansa zaman tersebut, baik
karya yang diciptakan dengan wujud dua dimensional (lukisan) maupun karya dalam
penampilan tiga dimensional (patung).
Sikap badan bagi wanita
merupakan pertimbangan dalam kesehariannya, karena sikap badan dapat
menimbulkan kesan tertentu pada seorang wanita.
Untuk memperjelas tentang sikap indah wanita yang dibentuk oleh tiga
tekukan tubuh tersebut, direpresentasikan dengan uraian posisi kaki, posisi
arah pinggul dan perut, arah bahu dan dada, dan arah pandang wajah. Dalam
merepresentasikan figur tarsebut diuraikan kedalam 6 prinsip dalam sikap figur
, yaitu:
a).
Sikap berdiri dengan kaki kanan menopang badan, sedangkan kaki kiri berjinjit,
begitu juga sikap kedua telapak kaki dengan posisi membetuk huruf T. Kedua
sikap kaki tersebut mengakibatkan pinggul menonjol kekanan, atau pinggul
menonjol kekiri apabila posisi kaki kanan yang berjinjit.
b).
Dalam keadaan posisi berdiri ataupun dalam posisi duduk, posisi badan dengan
pose miring mulai dari pinggul sampai
bahu, kemiringan badan seolah membentuk sudut apabila ditarik garis antara
posisi pinggul, yang dipertemukan dengan
garis dengan posisi kemiringan bahu. Dalam kemiringan posisi badan seperti
tersebut, posisi kepala dengan arah wajah berlawanan dengan posisi kemiringan
badan.
c). Sikap figur dalam keadaan berdiri, dengan
posisi pinggul mengarah kedepan, sedangkan posisi dada mengarah kesamping.
Posisi pinggul dan posisi dada tersebut
dapat mengarah kekiri maupun
mengarah kekanan, sedangkan badan agak terdorong kebelakang, dengan sikap telapak
kaki membentuk huruf T, sehingga dalam posisi badan dan kaki demikian, sikap
badan menimbulkan kesan menjadi lebih dinamis, bila wajah mengarah searah dengan posisi dada,
namun agak menengadah.
d). Posisi duduk kaki bersimpuh, posisi badan
membengkok sesuai dengan arah simpuh kaki (kaki kanan diatas kaki kiri maka
badan membengkok kekanan, demikian juga apabila sebaliknya ). Bersimpuh
merupakan salah satu ciri sikap duduk wanita yang mengandung makna etika.
e). Posisi berjongkok, lutut kanan menyentuh
lantai, lutut kiri kedepan, badan
membengkok kekiri, bahu mengarah kekiri, wajah menghadap kekanan, menunduk,
lurus, atau menengadah, dan sebaliknya apabila lutut kiri yang menyentuh
lantai.
f). Posisi rebah (tidur), arah kemiringan posisi
pinggul bertentangan dengan kemiringan posisi bahu dan kepala.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas bahwa dalam beberapa eksperimen yang penulis lakukan untuk
menemukan keindahan yang sebenarnya dari sikap tribhanga, maka sikap tribhanga
pada hakikatnya ditentukan oleh 3 hal, yaitu:
1.
Posisi
telapak kaki menjadi penentu dari posisi lutut, posisi lutut menentukan posisi
pinggul
2.
Posisi
pinggul dan bahu mengarah pada satu sudut
3.
Posisi
wajah bertentangan arah dengan sudut pertemuan pinggul dengan bahu.
Kepustakaan
Arnheim,
Rudoff, 1972, Toward a Psychology of Art,Collected
eassays, University of California Press, Berkeley and Los Angeles.
Badil,
Rudi / Nuradi Rangkuti, 1989, Rahasia di
Kaki Borobudur,Katalis Jakarta, PT Midas Surya Grafindo, Jakarta.
Canaday,
John, 1962, Mainstreams of Modern Art,
Simon and Schuster, New York, United States of America, trade edition
distributed by Simon and Schuster Inc.
Craven,
Roy C., Indian Art, 1986, A Concise
History, Thames and Hudson Inc. 500 fifth Avebue, New York, New York 10110.
Daks,
Acaryan Paramananda Muni 2007, Ibu
Durga,Ibu Kekuatan & Keajaiban,Paramita Surabaya.
Dillistone, F.W., 2002, The
Power of Symbols, Daya Kekuatan
Simbol, Penerbit Kanisius Yogyakrata.
Feldman,
Edmund Burke, 1967, Art As Image And
Idea, Prentice – Hall, INC., Englewood Cliffs, New Jesrey.
Gardner`s,
1976, Art through the Ages, Seventh
edition, Harcourt Brace Jovanovish Publishers, San Diego New York Chocago
Atlanta Washington, D.C. London Sydney Toronto.
Gault, Berys and Dominic Mclever Lopes, 2002, The Routledge Companion to Aesthetics, Routledge Taylor &
Francis Group,
New York.
Goldwater, Robert, 1979, Symbolism,
Icon Editions, Harper & Row, Publishers, Inc., 10 East 53rd
Street, New York, N.Y. 10022.
Honour, Hough & John Fleming, 1986, The Visual Arts a History, Second
Edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Hospers, John, 1982, Understanding
the Arts, Prentice-Hall, Inc.,Englewood Cliffs, New Jersey 07632.
Howard, Smagula J., 2002, Creative Drawing, Laurence King
Publishing Ltd.
Jakob, Suamarjo, 2000, Filsafat Seni, ITB, Bandung.
Kuhns, Albert Hofstadter and Richard, 1976, Philosophies of Art & Beauty,
Selected
Reading in Aesthetics from Plato to Heigedger,The University of Chicago Press.
Loomis, Andrew, 1952, Figure
Drawing , for all its worth, The Viking Press, New York.
Lowry, Bates, 1966, The Visual Experience, An Introduction
to Art, Harry N. Abrams, Incorporated, New York, N. Y.
Micheal, Sullivan, 1985, The Book Of Art, Chinese and Japanese art, Nuovo
Istituto Italiano d’ Arti Grafiche – Bergamo.
Munro,
Thomas, 1967, The Art and Their
Interrelations, the Press of Case Western Reserve University Cleveland and
London.
Murkarovsky, Jan, 1977,
translated and adited by John Burbank and Peter
Steiner,Structure, Sign, and
Function, New Haven and London Yale Universit Press.
Osborne, Harold, 1970, Aesthetics
and Art Theory, An Historical Introduction, E. P. Dutton & Co., Inc.
New York.
Peter,
Fuller, 1983, Art and Psychoanalysis,
Writers and Readers Publishing Cooperative Ltd., 144 Camden High Street, London, NWI ONE.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006, Kajian Budaya Feminis, Tubuh,
Sastra, dan Budaya Pop, Jalasutra, Anggota IKAPI, Jl. Mangkunegaran Kidul
No.25, Yogyakarta 55131.
________,
2006, Kajian Budaya Feminis, Tubuh,
Sastra, dan Budaya Pop, Jalasutra, Anggota IKAPI, Jl. Mangkunegaran Kidul
No.25.
Putnam,
Tong Roesmarie, 2006, Feminist Thought, Jalasutra, Anggota IKAPI, Jl.
Mangkunegaran Kidul No.25,.
Read,
Herbert, 1972, The Meaning of Art, A
true taste is never a half taste, Praeger Publishers, New York-Washington.
Soedarsono
RM., 2001, Metodologi Penelitian: Seni
Pertunjukan dan Seni Rupa, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI),
Semarang.
Sudi,
Padma, 1983, Aeathetic Theories of India,
Bandharkar Oriental Research Institute.
Zimmer, Heinrich, 1955, The
Art of Indian Asia, Bollingen Series XXXIX, Pantheon Books, Manufactured in
U. S. A. by Kingsport Press, Inc., Kingsport, Tennessee
The
Encyclopedia Americana, Vol.
7, 1976., International
Edition, Americana Corporation,
International Headquarters: 575 Lexington Avenue, New York, New York 10022.
Encyclopedia Britannica, (2006), feminism, Ultimate Reference Suite.
Chicago: Encyclopædia Britannica.